My Writting

Saturday, October 11, 2014

CERPEN: DEKAT DI HATI


“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” QS. Al Baqarah-286

“Cinta pertama adalah pengalaman paling indah bagi semua manusia. Cinta pertama penuh keindahan, dunia baru yang memenuhi seluruh sisi-sisi kalbu, memenuhi dunia dengan pelangi warna-warni, sehingga ia akan melupakan segala derita rahasia kehidupan ini” - Khalil Gibran
Sebagian orang mengalami first lovenya saat mengalami masa-masa SMA. Sebagian lagi merasakan rasanya  first love saat dia duduk di bangku SMP. Sisanya ada yang merasakan firs love saat SD atau pun TK. Kalau boleh jujur, mungkin aku termasuk dalam golongan yang termuda.


Namanya Gian. Tingginya sekitar 5 cm lebih tinggi dariku. Tubuhnya semampai indah gagah dan sangat laki-laki. Rambutnya hitam legam dan hanya tumbuh beberapa cm tiap bulannnya. Kulitnya putih langsat tapi entah seberapa halus atau kasarnya kulit itu. Kacamata hitam full framenya bermerek nike. Ia lahir bukan dari orang tua yang sangat agamis, tapi dia bahkan sudah mennghapal qur’an dengan keinginannya sendiri semenjak SD kelas 1.
Empat tahun sudah aku mengenalnya. Rumah kita sebenarnya berdekatan, tapi karena aku jarang keluar rumah, aku pun baru mengenalnya saat kita mulai duduk di bangku SD. SD Islam Sultan Fattah tepatnya. SD ini terletak lumayan jauh dari rumahku. Butuh sekitar 20 menit untuk mencapai SD-ku di pagi hari jika jalanan masih sepi.
Sejak masih kecil, orang tuaku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ayah bekerja di kantor, sedangkan ibu bekerja di rumah sakit melayani orang-orang yang sedang tidak sehat. Jadi, untuk masalah berangkat dan pulang sekolah  pun orang tuaku tidak pernah ambil pusing. Mereka menitipkanku ke petugas antar-jemput di SD.
Pak Rumli namanya. Orangnya baik, santun, dan suka senyum. Beliau mempunyai kumis yang lumayan lebat di bawah hidungnya. Kulitnya coklat dan banyak bulunya. Ada satu tahi lalat besar di pipi kanannya.
Empat tahun diantar-jemput olehnya, kurasa Beliau hanya mempunyai dua buah baju yang selalu dipakainya bergantian tiap dua hari sekali. Yang satunya berupa kemeja lusuh bewarna biru lurik-lurik, dan yang satunya berupa kaus hitam berkerah berttuliskan “Kota Makassar”. Suatu ketika, saat aku menceritakan hal ini kepada orang tuaku, esoknya orang tuaku langsung berinisiatif untuk memberikan sebagian baju Ayah kepada Pak Rumli ini. Tapi dengan spontan, Pak Rumli menolaknya. Beliau merupakan model orang yang tidak suka dikasihani. Beliau lebih suka bekerja keras sendiri dibanding menadangkan tangan baik secara langsung ataupun tidak langsung ke orang lain. Semenjak hari itu, kedua orang tuaku pun menjadi sangat menghormati Beliau dan terus-menerus memujinya di depan orang lain.
Sebenarnya di kelas, aku memang tidak terlalu dekat dengan anak itu. Tapi berkat kesibukan orang tuaku yang memaksakan mereka untuk menitipkanku pada petugas antar-jemput SD, aku pun mulai mengenalnya dengan baik.
Anaknya bandel tapi baik. Keren tapi low profile. Tidak terlalu tampan tapi manis. Entah mengapa setelah sekian lama terbiasa naik mobil antar-jemput sekolah aku pun dekat dengannya. Dia sering mentraktirku saat sepulang sekolah. Dia sering ke rumahku untuk belajar bersama. Setiap sore, dia juga selalu menghampiriku untuk belajar TPA di masjid dekat rumah.
Intensitas bertemu yang tinggi ini membuat kami menjadi sangat dekat. Sebenarnya kedekatan ini tidak hanya antara aku dan dia. Tapi ada satu lagi temanku yang lain yang selalu ikut bersama dengan kami juga, yakni Zaski. Di mana ada Aku, di sana ada Gian dan Zaski. Di mana ada Gian, di sana ada Aku dan Zaski. Di mana ada Zaski, di sana ada aku dan Gian. Seperti itulah keadaan kami setiap hari di sekolah. Akan tetapi, sayangnya rumah Zaski tidak sejalur dan tidak dekat dengan rumah kami. Jadi kami pun tidak pernah pulang bersama bertiga.
Suatu hari, ketika aku bersiap hendak pergi ke sekolah, angin berderu dengan kencang. Petir menyambar dari berbagai arah. Suaranya menggelegar. Membuat jantungku berdegup tak karuan karena ketakutan. Lalu, beberapa saat kemudian turunlah setetes, dua tetes, tiga, empat, dan segerombolan air dari gumpalan awan hitam di langit. Nampaknya, matahari sedang tidak ingin menampakkan dirinya untuk hari ini. Menurut perkiraanku, hujan ini tak akan reda seharian ini.
Kring kring kring telpon rumahku berbunyi. Nampaknya telepon itu berasal dari pihak sekolah. Mereka mengatakan bahwa Pak Rumli, sopir mobil antar-jemput sekolah sedang tidak enak badan dan tidak bisa bekerja hari ini. Selain itu, mobil antar-jemput yang biasa kunaiki sedang macet dan tidak bisa menjemputku pergi ke sekolah.
Akhirnya, orang tuaku pun untuk pertama kali setelah 4 tahun lamanya aku bersekolah di SD Islam Sultan Fattah mengantarkanku ke sekolah. Walaupun telat sampai di sekolah, setidaknya aku bukan merupakan orang yang paling telat di kelasku. Saat itu jam tangan biru muda pemberian Gian yang sedang melekat ditanganku sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi dari 20 siswa yang merupakan anggota kelasku baru ada 12 orang saja yang siap belajar di kelas. Termasuk Gian dan Zaski, mereka juga belum datang ke sekolah.
Mau tak mau, pelajaran di sekolah harus terus berjalan. Hanya ada 15 orang saja yang hadir di kelas saat itu. Aku melewati hari itu dengan lesu. Tak ada Zaski dan Gian di samping kanan kiriku. Nampaknya mereka sedang terserang sakit sama seperti Pak Rumli karena cuaca yang tak bersahabat di hari itu.
Hari itu pun berlalu. Keesokan harinya, matahari sudah tidak segan-segan lagi menampakkan dirinya ke hadapan dunia. “Gian dan Zaski pasti sudah sehat sekarang”, gumamku sebelum berangkat ke sekolah.
Setibanya di sekolah, aku pun bertemu dengan Zaski. Betapa bahagianya aku  melihat Zaski sudah sembuh dari penyakitnya. Tapi sayang sekali, nampaknya Gian masih berjibaku dengan penyakitnya. Jadi kuputuskan hari itu untuk menjenguk Gian di rumahnya sepulang sekolah nanti.
“Maaf Nak, tapi Giannya sedang istirahat sekarang. Mungkin lain waktu saja ya...”, ujar ibunya saat aku meminta izin padanya untuk menjenguk Gian. Aku pun kembali pulang ke rumah dengan lesu.
Esok harinya, karena Gian belum juga kembali ke sekolah, kulakukan hal yang sama seperti kemarin. Jawaban ibunya pun masih sama seperti kemarin. “Kayaknya, jam pulang sekolah memang jam istirahat Gian”, ujarku. Jadi dihari berikutnya aku mencoba menjenguknya di malam hari setelah pulang sholat isyak. Tapi ternyata ibunya lagi-lagi menjawab hal yang sama.
Seminggu berlalu. Gian belum juga masuk sekolah. Aku pun masih belum berkesempatan untuk menjenguknya. Satu-satunya informasi yang kutahu adalah bahwa ia masih sakit. Sakit macam apa pun aku tak tahu.
Kabar gembira untukku. Akhirnya, setelah sembilan hari berlalu, Gian kembali masuk sekolah. Aku senang walaupun nampaknya wajahnya kini lebih tampak putih karena pucat. Aku tidak berani menanyakan sakit apa yang dideritanya. Aku tak mau dia tersinggung.
Setelah sebulan sekolah seperti biasa, lagi-lagi Gian tidak masuk sekolah lagi. Kali ini tidak hanya sembilan hari, tapi dua minggu. Sungguh pun saat itu aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya.
Beberapa bulan di kelas 4 SD, aku dan kawan-kawanku pun mulai terbiasa dengan ketidakhadiran Gian di kelas. Efek sampingnya adalah aku mulai menjauh dengannya. Dia terlihat lebih pendiam sekarang. Tidak cerewet seperti dulu. Tidak bandel seperti dulu. tidak semanis dulu ketika tersenyum, karena senyumnya lebih seperti dibuat-buat sekarang.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Akhirnya tahun ajaran baru pun dimulai. Alhamdulillah semua anak kelasku bisa naik kelas, termasuk Gian. Lagi-lagi Gian masih sekelas denganku tahun ini.
Di tahun ajaran baru ini, kurasa Gian sudah mulai pulih dari penyakitnya. Kita bertiga (baca:Aku, Gian, dan Zaski) mulai sering lagi bermain bersama. Gian mulai bandel lagi. Senyumnya kini lebih manis dibanding senyumnya saat kelas 4 SD kemarin. Aku senang dia sudah pulih.
Beberapa bulan di kelas 5 SD, lagi-lagi Gian tidak masuk sekolah kembali. Kali ini, dia tidak juga kembali-kembali ke kelas.  Dua bulan berlalu tanpa Gian. Semenjak kelas 4 SD kemarin aku memang tidak pernah mencoba untuk menjenguk Gian lagi. Sepertinya memang orang tua Gian tidak suka ada orang yang menjenguk anaknya. “Aku kangen Gian...”, gumamku dalam hati.
Suatu hari di kelas, guru bahasa Indonesiaku meminta doa kepadaku dan teman-temanku untuk kesembuhan Gian. Di sana, beliau menuturkan detail penyakit Gian. Betapa terkejutnya aku ketika guruku menjelaskan bahwa Gian kini tengah kritis karena penyakit leukimianya. Sedang setahuku leukimia merupakan penyakit yang notabenenya adalah kanker.
Sedih bukan main. Aku dan kawan-kawanku sedikit meneteskan air mata mendalami kesedihan yang kami rasakan. Dengan dipimpin ketua kelas, kami pun bersama-sama mulai menuturkan alfatihah untuk Gian saat itu juga.
Bosan berjalan, kurasa waktu kini tengah berlari. Waktu terus bergulir tak henti-henti. Membuat umurku berkurang dan terus berkurang. Sebulan setelahnya, aku tahu, sepertinya Allah berencana lain. Anak itu, yang aku sudah sukai sejak kelas 1 SD, yang selalu pulang sekolah bersama denganku, yang selalu mengaji di TPA bersamaku, yang sering mentraktirku, yang senyumnya selalu aku rindukan telah dipanggil duluan menghadap Allah SWT. Aku sedih, jelas. Sedih bukan main. Tapi apa daya, aku hanya manusia. Sama seperti yang lain, hanya bisa berharap dan menerima.
Empat setengah tahun pertemanan saat itu terasa amat cepat berlalu. Memang sangat cepat. Tapi bagiku, pertemanan itu tidak hanya sampai akhir hayat. Tapi sampai nanti kalau kita sudah sama-sama tiada. Hingga tiada yang bisa saling mendoakan lagi di antara kita. Itulah akhir pertemanan. Jadi bagiku sekarang, pertemananku masih berlanjut. Sampai nanti jika aku sudah tidak sanggup mendoakan untuk kebahagiaan Gian di akhirat kelak.
Aku tahu, hidupku juga harus tetap berjalan walau tanpanya. Walaupun aku belum terlalu mengerti apa itu cinta, tapi setidaknya aku mengerti apa itu hidup. Hidup adalah untuk dicintai dan mencintai. Kita sebagai manusia sudah selayaknya mencintai dan dicintai. Entah itu orang tua, saudara, teman, guru, atau siapa pun saja.

Sampai kapan pun, walaupun Gian jauh di mata, namun Gian masih selalu dekat dihatiku.

No comments:

Post a Comment