“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.” QS. Al Baqarah-286
“Cinta pertama adalah pengalaman paling indah
bagi semua manusia. Cinta pertama penuh keindahan, dunia baru yang memenuhi
seluruh sisi-sisi kalbu, memenuhi dunia dengan pelangi warna-warni, sehingga ia
akan melupakan segala derita rahasia kehidupan ini” - Khalil Gibran
Sebagian orang
mengalami first lovenya saat
mengalami masa-masa SMA. Sebagian lagi merasakan rasanya first
love saat dia duduk di bangku SMP. Sisanya ada yang merasakan firs love saat SD atau pun TK. Kalau
boleh jujur, mungkin aku termasuk dalam golongan yang termuda.
Namanya Gian.
Tingginya sekitar 5 cm lebih tinggi dariku. Tubuhnya semampai indah gagah dan
sangat laki-laki. Rambutnya hitam legam dan hanya tumbuh beberapa cm tiap
bulannnya. Kulitnya putih langsat tapi entah seberapa halus atau kasarnya kulit
itu. Kacamata hitam full framenya
bermerek nike. Ia lahir bukan dari
orang tua yang sangat agamis, tapi dia bahkan sudah mennghapal qur’an dengan
keinginannya sendiri semenjak SD kelas 1.
Empat tahun sudah
aku mengenalnya. Rumah kita sebenarnya berdekatan, tapi karena aku jarang
keluar rumah, aku pun baru mengenalnya saat kita mulai duduk di bangku SD. SD
Islam Sultan Fattah tepatnya. SD ini terletak lumayan jauh dari rumahku. Butuh
sekitar 20 menit untuk mencapai SD-ku di pagi hari jika jalanan masih sepi.
Sejak masih kecil,
orang tuaku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ayah bekerja
di kantor, sedangkan ibu bekerja di rumah sakit melayani orang-orang yang
sedang tidak sehat. Jadi, untuk masalah berangkat dan pulang sekolah pun orang tuaku tidak pernah ambil pusing.
Mereka menitipkanku ke petugas antar-jemput di SD.
Pak Rumli namanya.
Orangnya baik, santun, dan suka senyum. Beliau mempunyai kumis yang lumayan
lebat di bawah hidungnya. Kulitnya coklat dan banyak bulunya. Ada satu tahi
lalat besar di pipi kanannya.
Empat tahun
diantar-jemput olehnya, kurasa Beliau hanya mempunyai dua buah baju yang selalu
dipakainya bergantian tiap dua hari sekali. Yang satunya berupa kemeja lusuh
bewarna biru lurik-lurik, dan yang satunya berupa kaus hitam berkerah
berttuliskan “Kota Makassar”. Suatu ketika, saat aku menceritakan hal ini
kepada orang tuaku, esoknya orang tuaku langsung berinisiatif untuk memberikan
sebagian baju Ayah kepada Pak Rumli ini. Tapi dengan spontan, Pak Rumli
menolaknya. Beliau merupakan model orang yang tidak suka dikasihani. Beliau
lebih suka bekerja keras sendiri dibanding menadangkan tangan baik secara
langsung ataupun tidak langsung ke orang lain. Semenjak hari itu, kedua orang
tuaku pun menjadi sangat menghormati Beliau dan terus-menerus memujinya di
depan orang lain.
Sebenarnya di kelas,
aku memang tidak terlalu dekat dengan anak itu. Tapi berkat kesibukan orang
tuaku yang memaksakan mereka untuk menitipkanku pada petugas antar-jemput SD,
aku pun mulai mengenalnya dengan baik.
Anaknya bandel tapi
baik. Keren tapi low profile. Tidak
terlalu tampan tapi manis. Entah mengapa setelah sekian lama terbiasa naik
mobil antar-jemput sekolah aku pun dekat dengannya. Dia sering mentraktirku
saat sepulang sekolah. Dia sering ke rumahku untuk belajar bersama. Setiap
sore, dia juga selalu menghampiriku untuk belajar TPA di masjid dekat rumah.
Intensitas bertemu
yang tinggi ini membuat kami menjadi sangat dekat. Sebenarnya kedekatan ini
tidak hanya antara aku dan dia. Tapi ada satu lagi temanku yang lain yang
selalu ikut bersama dengan kami juga, yakni Zaski. Di mana ada Aku, di sana ada
Gian dan Zaski. Di mana ada Gian, di sana ada Aku dan Zaski. Di mana ada Zaski,
di sana ada aku dan Gian. Seperti itulah keadaan kami setiap hari di sekolah. Akan
tetapi, sayangnya rumah Zaski tidak sejalur dan tidak dekat dengan rumah kami.
Jadi kami pun tidak pernah pulang bersama bertiga.
Suatu hari, ketika
aku bersiap hendak pergi ke sekolah, angin berderu dengan kencang. Petir
menyambar dari berbagai arah. Suaranya menggelegar. Membuat jantungku berdegup
tak karuan karena ketakutan. Lalu, beberapa saat kemudian turunlah setetes, dua
tetes, tiga, empat, dan segerombolan air dari gumpalan awan hitam di langit.
Nampaknya, matahari sedang tidak ingin menampakkan dirinya untuk hari ini. Menurut
perkiraanku, hujan ini tak akan reda seharian ini.
Kring
kring kring
telpon rumahku berbunyi. Nampaknya telepon itu berasal dari pihak sekolah.
Mereka mengatakan bahwa Pak Rumli, sopir mobil antar-jemput sekolah sedang
tidak enak badan dan tidak bisa bekerja hari ini. Selain itu, mobil
antar-jemput yang biasa kunaiki sedang macet dan tidak bisa menjemputku pergi
ke sekolah.
Akhirnya, orang
tuaku pun untuk pertama kali setelah 4 tahun lamanya aku bersekolah di SD Islam
Sultan Fattah mengantarkanku ke sekolah. Walaupun telat sampai di sekolah,
setidaknya aku bukan merupakan orang yang paling telat di kelasku. Saat itu jam
tangan biru muda pemberian Gian yang sedang melekat ditanganku sudah
menunjukkan pukul delapan pagi, tapi dari 20 siswa yang merupakan anggota
kelasku baru ada 12 orang saja yang siap belajar di kelas. Termasuk Gian dan
Zaski, mereka juga belum datang ke sekolah.
Mau tak mau,
pelajaran di sekolah harus terus berjalan. Hanya ada 15 orang saja yang hadir
di kelas saat itu. Aku melewati hari itu dengan lesu. Tak ada Zaski dan Gian di
samping kanan kiriku. Nampaknya mereka sedang terserang sakit sama seperti Pak
Rumli karena cuaca yang tak bersahabat di hari itu.
Hari itu pun
berlalu. Keesokan harinya, matahari sudah tidak segan-segan lagi menampakkan
dirinya ke hadapan dunia. “Gian dan Zaski pasti sudah sehat sekarang”, gumamku
sebelum berangkat ke sekolah.
Setibanya di
sekolah, aku pun bertemu dengan Zaski. Betapa bahagianya aku melihat Zaski sudah sembuh dari penyakitnya.
Tapi sayang sekali, nampaknya Gian masih berjibaku dengan penyakitnya. Jadi
kuputuskan hari itu untuk menjenguk Gian di rumahnya sepulang sekolah nanti.
“Maaf Nak, tapi
Giannya sedang istirahat sekarang. Mungkin lain waktu saja ya...”, ujar ibunya
saat aku meminta izin padanya untuk menjenguk Gian. Aku pun kembali pulang ke
rumah dengan lesu.
Esok harinya,
karena Gian belum juga kembali ke sekolah, kulakukan hal yang sama seperti
kemarin. Jawaban ibunya pun masih sama seperti kemarin. “Kayaknya, jam pulang
sekolah memang jam istirahat Gian”, ujarku. Jadi dihari berikutnya aku mencoba
menjenguknya di malam hari setelah pulang sholat isyak. Tapi ternyata ibunya
lagi-lagi menjawab hal yang sama.
Seminggu berlalu.
Gian belum juga masuk sekolah. Aku pun masih belum berkesempatan untuk
menjenguknya. Satu-satunya informasi yang kutahu adalah bahwa ia masih sakit.
Sakit macam apa pun aku tak tahu.
Kabar gembira
untukku. Akhirnya, setelah sembilan hari berlalu, Gian kembali masuk sekolah.
Aku senang walaupun nampaknya wajahnya kini lebih tampak putih karena pucat.
Aku tidak berani menanyakan sakit apa yang dideritanya. Aku tak mau dia
tersinggung.
Setelah sebulan
sekolah seperti biasa, lagi-lagi Gian tidak masuk sekolah lagi. Kali ini tidak
hanya sembilan hari, tapi dua minggu. Sungguh pun saat itu aku tidak ingin
terjadi apa-apa padanya.
Beberapa bulan di
kelas 4 SD, aku dan kawan-kawanku pun mulai terbiasa dengan ketidakhadiran Gian
di kelas. Efek sampingnya adalah aku mulai menjauh dengannya. Dia terlihat
lebih pendiam sekarang. Tidak cerewet seperti dulu. Tidak bandel seperti dulu.
tidak semanis dulu ketika tersenyum, karena senyumnya lebih seperti dibuat-buat
sekarang.
Hari berganti
minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Akhirnya tahun ajaran baru
pun dimulai. Alhamdulillah semua anak kelasku bisa naik kelas, termasuk Gian. Lagi-lagi
Gian masih sekelas denganku tahun ini.
Di tahun ajaran
baru ini, kurasa Gian sudah mulai pulih dari penyakitnya. Kita bertiga
(baca:Aku, Gian, dan Zaski) mulai sering lagi bermain bersama. Gian mulai
bandel lagi. Senyumnya kini lebih manis dibanding senyumnya saat kelas 4 SD
kemarin. Aku senang dia sudah pulih.
Beberapa bulan di
kelas 5 SD, lagi-lagi Gian tidak masuk sekolah kembali. Kali ini, dia tidak
juga kembali-kembali ke kelas. Dua bulan
berlalu tanpa Gian. Semenjak kelas 4 SD kemarin aku memang tidak pernah mencoba
untuk menjenguk Gian lagi. Sepertinya memang orang tua Gian tidak suka ada
orang yang menjenguk anaknya. “Aku kangen Gian...”, gumamku dalam hati.
Suatu hari di
kelas, guru bahasa Indonesiaku meminta doa kepadaku dan teman-temanku untuk
kesembuhan Gian. Di sana, beliau menuturkan detail penyakit Gian. Betapa
terkejutnya aku ketika guruku menjelaskan bahwa Gian kini tengah kritis karena
penyakit leukimianya. Sedang setahuku leukimia merupakan penyakit yang
notabenenya adalah kanker.
Sedih bukan main.
Aku dan kawan-kawanku sedikit meneteskan air mata mendalami kesedihan yang kami
rasakan. Dengan dipimpin ketua kelas, kami pun bersama-sama mulai menuturkan
alfatihah untuk Gian saat itu juga.
Bosan berjalan,
kurasa waktu kini tengah berlari. Waktu terus bergulir tak henti-henti. Membuat
umurku berkurang dan terus berkurang. Sebulan setelahnya, aku tahu, sepertinya
Allah berencana lain. Anak itu, yang aku sudah sukai sejak kelas 1 SD, yang
selalu pulang sekolah bersama denganku, yang selalu mengaji di TPA bersamaku,
yang sering mentraktirku, yang senyumnya selalu aku rindukan telah dipanggil
duluan menghadap Allah SWT. Aku sedih, jelas. Sedih bukan main. Tapi apa daya,
aku hanya manusia. Sama seperti yang lain, hanya bisa berharap dan menerima.
Empat setengah
tahun pertemanan saat itu terasa amat cepat berlalu. Memang sangat cepat. Tapi
bagiku, pertemanan itu tidak hanya sampai akhir hayat. Tapi sampai nanti kalau
kita sudah sama-sama tiada. Hingga tiada yang bisa saling mendoakan lagi di
antara kita. Itulah akhir pertemanan. Jadi bagiku sekarang, pertemananku masih
berlanjut. Sampai nanti jika aku sudah tidak sanggup mendoakan untuk
kebahagiaan Gian di akhirat kelak.
Aku tahu, hidupku
juga harus tetap berjalan walau tanpanya. Walaupun aku belum terlalu mengerti
apa itu cinta, tapi setidaknya aku mengerti apa itu hidup. Hidup adalah untuk
dicintai dan mencintai. Kita sebagai manusia sudah selayaknya mencintai dan
dicintai. Entah itu orang tua, saudara, teman, guru, atau siapa pun saja.
Sampai kapan pun,
walaupun Gian jauh di mata, namun Gian masih selalu dekat dihatiku.
No comments:
Post a Comment