EARTH IN HURT
(BUMI DALAM KESAKITAN)
GROMPYANG!!! “Ibuuk! Santi mecahke piring buuk!”1
“Astaghfirullahaladzim... Santi, ojo nakal tho nduk!”2
Pagi itu, ketika
fajar mulai menyingsing, saat tetes-tetes embun memeluk dahan-dahan daun, saat
angin membelai lembut kulit kasar para tani yang hendak pergi ke sawah, dan
saat ayam-ayam mulai kehabisan tenaga setelah lama berkokok membangunkan semua
orang di jagad raya, tidak seperti biasanya, rumah Pak Handoyo tengah dipenuhi
kesibukan yang luar biasa. Suara-suara piring yang diangkat kesana-kemari
sekaligus suara mesin cuci yang terdengar seperti motor rusak telah terdengar
dari pukul 3 pagi tadi. Rumah sederhana tipe 36 yang hanya memiliki 2 kamar
tidur di dalamnya itu tampak seperti rumah orang tua yang anakanya akan segera
mengadakan ijab kabul. Tapi, tentu saja bukan itu. Rupanya, rumah Si Udin yang
baru saja melaporkan kelakuan adik perempuannya pada ibunya itu sedang
dijadikan basecamp untuk membuatkan konsumsi dari sebuah acara yang akan
diadakan oleh Pak RT siang ini.
Desa Colombo,
sebuah desa yang terpencil, hanya didiami oleh sekitar 20 keluarga. Desa ini
masih terbilang sangat asri. Banyak kebun-kebun karet yang entah siapa
pemiliknya tergeletak di beberapa sudut desa itu. Jalanannya pun belum ada yang
diaspal. Semuanya berupa tanah yang disamping-sampingnya ada semak-semak dari
tanaman dadah sebagai pembatas antara jalan dan halaman rumah warga.
Desa yang semua
warganya berbicara menggunakan Bahasa Jawa ini
memiliki warga yang hidupnya sangat harmonis dan saling beriringan. Satu
contoh, suatu ketika salah satu anggota keluarga Pak Joko yang tinggal di
samping kanan rumah Si Udin ditimpa musibah kecelakaan kemarin, semua orang di
Desa Colombo kala itu menghentikan semua aktivitas kesehariannya dan saling
bahu-membahu menyiapkan acara tahlilan yang akan dilakukan malam harinya. Para
suami mendirikan tenda dan para istri memasak makanan.
Jadi ceritanya,
beberapa waktu yang lalu ketika kaum suami di Desa Colombo ini mengadakan
perkumpulan rutin yang diadakan tiap 2 minggu sekali di masjid, mereka membahas
masalah kesehatan warga Desa Colombo yang tengah menurun. Dua hari yang lalu,
Tika, anak Pak Suhali, baru saja masuk rumah sakit dan harus di-opname
selama dua minggu dikarenakan gigitan nyamuk Aedes Aegepty yang
menyebabkan penyakit demam berdarah. Mereka sepakat bahwa nyamuk-nyamuk itu
datang karena keadaan lingkungan desa mereka yang kotor. Oleh karena itu, pada
malam itu mereka merencanakan sebuah
acara resik-resik3 yang akan diadakan hari ini pada pukul 10
nanti.
* * *
“Mas Udiiiin! Reneo Mas! Ono manuk tibo iki!”4
“Astaghfirullah dek! Ndang direwangi yok!”5
Santi, perempuan
kecil yang memiliki lesung pipit di pipi kanannya ini sangat sayang terhadap
semua jenis hewan. Perempuan yang kulitnya coklat manis ini sudah lama
bercita-cita menjadi seorang dokter hewan. Maka, siang itu, kala semua orang di
Desa Colombo tengah disibukkan dengan acara resik-resik desa, dia sangat
shock saat melihat ada buruk jatuh tepat di depan matanya. Bola matanya
yang bulat dan bening itu seketika langsung penuh dengan air mata yang hendak
menetes menuju pipinya.Lututnyadijatuhkannya di tanah. Tangannya bergerak meraup burung yang tengah kesakitan itu.
* * *
Jarum terpendek
dari jam putih besar merek quartz yang dipasang di depan rumah Pak RT
telah menunjukkan angka 10. Tibalah saatnya acara resik-resik desa
dimulai. Orang-orang di Desa Colombo sangat menghargai waktu. Mereka selalu
datang tepat waktu di setiap acara apa pun. Tepat di depan rumah Pak RT, orang-orang
berkumpul sambil membawa semua peralatan resik-resik yang masik-masing
punya. Ada yang membawa sapu ijuk, cangkul, arit, gunting kebun, dan ada juga
yang membawa gerobak sampah yang biasa dipakai para tani untuk mengangkut hasil
panennya.
Setelah Pak RT
yang mempunyai kumis tebal dan panjang juga bertahi lalat di pipi kanannya itu
memberikan segala pengarahannya mengenai acara resik-resik ini, warga
pun mulai menyebar di segala penjuru Desa Colombo untuk membersihkan
bagian-bagian desa yang kotor. Ada yang membersihkan parit, merapikan tanaman
dadah yang sudah tak berbentuk lagi, bahkan ada pula yang memunguti daun-daun
dari pohon jati dengan tangannya karena tidak kebagian alat pembersih apa pun.
Matahari tepat
berada 60 derajat dari permukaan bumi. Angin sepoi-sepoi pagi tadi sudah mulai
pergi. Suara nyanyian burung-burung yang mengelus hati terdengar disana-sini.
Kala itu, seorang perempuan kecil berteriak pada kakaknya yang berada tak jauh
darinya. Katanya, dia baru menemukan seekor burung yang terjatuh tepat di
depannya. Ia pun meminta kakaknya untuk menolong burung yang tengah kesakitan
itu.
Mas Udin
mengiyakan apa yang dipinta oleh adik tersayangnya. Ketika kakinya melangkah
mendekati burung itu, Pak RT ikut mendekat. Pria bertubuh tegap dan gempal itu
ikut penasaran dengan apa yang baru ditemukan oleh anak perempuan itu.
“Owalah, lukane mung sithik kuwi... Rene, bareng-bareng diobati
nggo betadine Bu RT nang omah”6
“Nggih pak...”7
* * *
“Bumi itu indah, bumi itu kuat, kokoh, dan perkasa selama bumi ini hijau. Hijau-hijauan di bumi ini selalu tampak seperti intan berlian jika dilihat dari atas langit. Hijau-hijauan itulah hutan-hutan kita. Mereka hidup kita. Mereka menghidupi kita. Kita seharusnya turut membalas budi mereka. Semua kebutuhan kita asalnya dari mereka. Dari makanan, udara, tempat tinggal, hingga peralatan-peralatan rumah kita berasal dari mereka. Lihat saja burung tadi, jika saja tidak ada lagi pepohonan di dunia ini. Jika saja tidak ada lagi hijau-hijauan di bumi ini. Mereka mau tinggal di mana? Mereka mau makan dengan apa? Tentu mereka akan punah. Oleh karena itu, Udin, Santi, berjanjilah pada diri kalian masing-masing untuk terus menjaga pohon-pohon ini, hutan-hutan ini, bumi ini. Jagalah seolah-olah mereka telah menjaga kita dari kelaparan, kehujanan, kepanasan, dan yang
lainnya. Jagalah mereka, sayangi mereka.” Ujar Pak RT padaUdin dan Santi saat setelah mengembalikan burung yang terjatuh tadi.
Tanpa disadari, bola mata Udin yang bulat bagai rembulan yang persis sama dengan kepunyaan adik perempuannya itu mulai berbinar-binar. Dia benar-benar terhipnotis oleh kata-kata Pak RT yang barusan. Kata-katanya langsung merasuk dalam sanubarinya. Mulutnya bergerak kecil-kecil, bergeming, menyebut asma Allah Yang Mahakuasa. Nampaknya, anak laki-laki kelas 5 SD ini baru sadar betapa indah nya tempat tinggalnya. Betapa berjasanya buminya. Betapa kerennya Sang Maha Penciptanya.
* * *
Hari demi
hari telah berlalu. Waktu berlalu begitu saja. Selalu begitu. Pagi berganti siang, siang berganti malam. Semakin hari Udin semakin dewasa. Semakin dewasa, Udin semakin mencintai buminya. Lama-kelamaan, sejak terinspirasi oleh kata-kata Pak RT pada hari itu, Udin mulai tertarik untuk menjadi aktivis lingkungan.
Karirnya dimulai dari terangkatnya dia menjadi duta lingkungan di Indonesia karena telah berhasil melakukan penelitian tentang lingkungan di sekitarya. Tidak hanya itu, ia pun kini telah mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah Indonesia dan Perum Perhutani karena usahanya membuat acara-acara untuk menjaga lingkungan dengan tanam seribu pohon, membersihkan sungai-sungai besar yang telah tercemar limbah, dan lain sebagainya. Bahkan, ia pernah masuk suatu acara televisi dikarenakan usaha-usahanyatadi.
Suatu ketika, di hari Minggu pagi, saat orang-orang baru pulang dari masjid setelah menunaikan solat subuh berjamaah, Udin marah-marah tak jelas di depan tv. Rambutnya yang cepak dan hitam diawut-awut sampai menjadi acak-acakkan. Pecinya dibanting ke lantai. Tangannya menggepal seperti siap menghajar seseorang. Kakinya gemetaran hampir jatuh.
Yudi, teman Udin yang baru saja pulang dari masjid sampai hampir terpeleset karena mendengar suara teriakan Udin
dari kejauhan. Santi, yang masih tertidur di kamar orang tuanya sampai terbangun dan menangis karena menyadari sudah tidak ada lagi ibunya di sisinya. Untung orang tua Udin masih belum pulang dari masjid. Karena jika sampai orang tua Udin mengetahui Udin marah-marah sendiri, sudah pasti dia akan balik dimarahi oleh orang tuanya.
“Ono opotho Din? Sianudin??”7 teriak Yudi dari depan pintu rumah Udin yang terbuat dari kayu jati dan dipelitur sendiri oleh bapak Udin.
“Ini lhoYud, para peneliti kita sekarang iki kok yo dho aneh-aneh wae”8
Nampaknya,
Udin tengah kesal karena melihat berita di tv 32 incinya yang terletak di ruang tamu barusan. Beritanya berisi tentang rencana pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia yang ada. Itu adalah sebuah penemuan alat yang bisa digunakan untuk menggantikan keberadaan pohon-pohon penghasil oksigen di dunia ini.
Penemuan tersebut merupakan solusi dari luas permukaan bumi yang tidak akan pernah bertambah lebar, sedangkan penduduknya sendiri terus bertambah dan bertambah tiap harinya. Belum lagi semakin berhasilnya para petinggi-petinggi Negara untuk mensejahterakan rakyatnya dan menekan sekuat mungkin angka kematian yang terjadi di dunia ini.
Semuanya sudah dipertimbangkan. Dari kecukupan oksigen kita tanpa pepohonan, tempat cadangan air, tempat penyerapan air ketika hujan, vitamin-vitamin yang hanya bisa didapat dari buah-buahan
asli, hingga sarang-sarang hewan-hewan kecil yang biasa hidup di pohon, semuanya telah dibuatkan pengganinya. Tentunya dengan menggunakan teknologi canggih masa kini. Bahkan beribu-ribu orang dari aktivis lingkungan internasional dan pihak-pihak lain telah ikut menyetujui keputusan ini setelah melakukan perundingan-perundingan hingga demonstrasi di dunia ini. Itu artinya, semua dampak positif dan negatif-nya telah dipertimbangkan hingga sangat matang. Inilah yang terbaik untuk bumi ini.
Penerapan teknologi ini akan dilakukan secara serentak oleh semua Negara di dunia ini tanpa terkecuali tidak kurang dari 7 tahun kedepan. Hidup manusia akan semakin praktis kedepannya. Sebenarnya, penemuan ini telah ditemukan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Akan tetapi, baru tahun inilah semua Negara di dunia ini ikut menyetujuinya.
Sianudin,
seorang murid SMA Negeri 1 Salatiga masih merasa ganjal dengan semua ini. Walau ia terus-terusan mengikuti tentang perkembangan alat ini melalui berbagai media yang dapat ia akses, dan telah mengetahui semua dampak sekaligus solusi-solusi yang direncanakanakan dapat dipakai, ia masih tidak percaya. Hatinya belum srek. Kata-kata Pak RT yang telah meninggal beberapa tahun lalu masih terngiang-ngiang ditelinganya.
@ @ @
Manusia-manusia di
era ini sudah sangat maju pesat. Penemuan-penemuan baru selalu dihasilkan tiap
hari. Bahkan, sekarang kaki manusia pun sudah hampir tidak efektif lagi untuk
digunakan. Orang-orang di zaman ini satu-per-satu, semuanya, memiliki alat yang
bernama capsul mass, yakni sebuah
alat berbentuk kapsul yang berisikan satu kursi yang nyaman dan empuk untuk
diduduki dan berpuluh-puluh tombol di sanggahan tangannya.
Semua pekerjaan
manusia sudah sangat mudah. Jika ingin ini, tinggal pencet tombol A, jika ingin
itu, tinggal pencet tombol B, dan seterusnya. Belum lagi disetiap rumah semua
orang masing-masing memiliki minimal satu robot pelayan yang dapat disuruh
untuk melakukan apa pun. Robot ini ber-IQ lebih tinggi daripada manusiia. Settingannya adalah untuk memuaskan
segala kebutuhan manusia (masing-masing tuannya).
Alat transportasi yang sedang ramai digunakan adalah gelembung
terbang. Di setiap kota di seluruh dunia telah dipasang beberapa halte
gelembung terbang. Dengan gelombang ini, sudah tidak akan ada lagi kemacetan
dan peristiwa kecelakaan yang terjadi. Semuanya aman dan nyaman. Tugas polisi
dan militer menjadi sangat mudah. Mereka hanya bertugas untuk mengendalikan
robot-robot yang telah di-setting
sebagai alat pertahanan negara pula. Dunia menjadi damai. Sangat damai. Itu
terjadi karena semua orang telah mempunyai semua yang diinginkannya. Semuanya
sudah dipuaskan oleh alat-alat yang diciptakan oleh para penemu-penemu di dunia
ini.
Satu-satunya masalah yang dihadapi umat manusi di era ini adalah
masalah sampah. Kini, semua ilmuwan tengah mencari solusi dari masalah sampah
ini. Dari menjadikan sampah sebagai bahan baku bangunan-bangunan baru, hingga
mencari planet yang dapat digunakan sebagai tempat sampah bumi tengah
diproyeksikan sekarang.
Desa Colombo yang tergolong sangat ketinggalan 70 tahun lalu, kini
telah menjadi kota metropolitan yang sepadan dengan kota-kota lain di dalam
maupun luar negeri. Semua kota di dunia ini sama. Semuanya rata. Itulah yang
benar-benar diprioritaskan oleh para peneliti di dunia ini. Dunia ini kini ada
di tangan para peneliti-peneliti itu. Semua penemuan-penemuannya selalu
diterapkan bersama di seluruh dunia. Tidak ada lagi kota tertinggal. Satu maju,
semua ikut maju.
* * *
Sebuah tv flat berukuran
5x4 meter dipasang di tengah kota untuk mengetahui semua perkembangan dunia
yang ada.
Angin sepoi-sepoi yang biasa berhembus dari alat air cool yang dipasang di setiap sudut
kota tiba-tiba terasa sangat dingin. Seketika semua orang di Kota Colombo
langsung diam-senyap-tak-bergerak. Ada beberapa orang yang merintih, menggigil,
dan menangis. Wajah-wajahnya membiru, memucat. Bergetaran bulu-bulu kudup
mereka. Gemetaran tubuh mereka. Jantung mereka berdegup membentuk suatu ketukan
yang luar biasa cepat. Rasanya bagai dehidrasi di padang pasir selama
berminggu-minggu, hipotermia di kutub utara, dan pikiran mereka pun menghilang
terbang melayang. Ini semua disebebkan suatu berita yang baru saja ditayangkan
di tv flat besar tadi.
“DANGER! A BIG NATURAL
DISASTER WILL COME! It is predicted that this disaster will happen at least in
the next 5 yeras. The scientifics said that this is an effect of the decision
that we’d taken seventy years ago...” Itulah beberapa kata awal yang
diucapkan oleh pembawa berita di tv
itu. Semua orang tahu itu bukan hoax
atau semacamnya. Semua berita di tv
itu merupakan berita yang benar-benar akan terjadi karena dikontrol langsung
oleh para peneliti. Ditambah lagi semua peneliti di zaman sekarang sangat tidak
menyukai lelucon. Semua orang tahu itu.
* * *
Semenjak berita itu disiarkan, fokus semua orang tmenjadi berubah.
Mereka tidak lagi memikirkan aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Hiruk pikuk
jalanan yang biasa terdengar sudah lama tak terdengar. Kini, hampir semua orang
tengah berlomba-lomba untuk mencari solusi dari bencana alam yang diramalkan
akan terjadi 5 tahun kedepan tersebut. Hampir semua orang di dunia ini kini
adalah ilmuwan. Mereka percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia in.
Ada yang memproyeksikan bangunan di dalam bumi, ada yang mencari planet baru
untuk dihuni oleh umat manusia, bahkan ada pula yang berusaha membuat replika
bumi yang besarnya sama.
Suatu ketika, di saat semua orang tengah disibukkan oleh pencarian
solusi dari bencana alam besar itu, seorang ilmuwan berdarah Rusia bernama Mr.
Darcy Collins mengumumkan penemuannya kepada dunia. Penemuannya adalah alat
yang bernama “time machine”.
Bentuknya seperti WC umum di tengah kota. Warnanya kuning menyala, dilengkapi
dengan sebuah kaca kecil di bagian tengah-atas pintunya. Hanya ada satu tombol
di dalamnya. Ya, memang alat ini hanya dirancang untuk kembali ke masa lalu, ke
masa sebelum “hari perubahan” (begitulah
orang-orang biasa menyebut hari dimana pemusnahan pepohonan dilaksanakan di
dunia ini).
Tak ada tombol untuk kembali. Sekali saja orang sudah masuk dan
memencet tombol merah besar yang ada di dalamnya, maka orang itu tidak akan
dapat kembali lagi. Tugas dari orang yang kembali ke masa lalu ini adalah untuk
membatalkan semua yang sudah diputuskan untuk masa depan umat manusia di bumi
ini. Oleh karena itu, Mr. Darcy Collins ini membutuhkan seorang sukarelawan
yang perannya sangat berpengaruh di masa lalu.
* * *
“Sayang sekali ya, sepertinya semua yang telah kau usahakan akan
berakhir sia-sia” Lontar seorang wartawan di konversi itu kepada Mr. Darcy
Collins.
“Apa maksud Anda?”
“Yaa... coba saja pikirkan sendiri. Mana ada orang penting di zaman
dulu yang mau dihilangkan? Orang-orang penting itu kini telah hidup nyaman
dengan apa yang telah mereka raih di zaman dulu. Tentu saja mereka tidak akan
mau repot-repot meninggalkan hidup enak mereka sekarang hanya demi sebuah alat
yang belum tentu berhasil bekerja.” Sanggahnya lagi. Rupanya orang ini
benar-benar meragukan dengan apa yang telah Mr. Darcy Collins temukan.
Belum sempat Mr. Darcy Collins menjawab sanggahan dari
wartawan itu, tiba-tiba bumi berguncang. Semakin lama semikin kencang. Lampu
dalam ballroom itu pun mati-nyala.
Semua orang panik. Mereka berlari-lari menuju ke luar bagai laron-laron yang
berterbangan di kala maghrib. Pasak-pasak bumi berhamburan bagai bulu-bulu yang
bertebaran. Mungkinkah ini akhirnya? Inikah hari yang dijanjikan itu?
Tanpa disengaja, seorang tua yang memperhatikan jalannya
konverensi dari tadi berlari menuju time
machine kepunyaan Mr. Darcy Collins tadi. Niatnya adalah untuk berlindung.
Tapi, tanpa disengaja lagi, dia memencet tombol merah besar yang ada di dalam time machine tadi. Jadilah ia pergi
meninggalkan zaman itu. Jadilah ia melakukan perjalanan waktu menuju zaman
sebelum “hari perubahan” dilakukan.
Perjalanannya
tidak terasa menyenangkan. Perjalanannya berlangsung sangat lama. Rasanya di
dalam time machine itu seperti sedang
menaiki roller coaster di Dufan saat hujan badai tengah terjadi. Perutnya
terasa mual seperti ia sedang dimasukkan dalam mesin cuci di rumahnya.
Memuakkan dan memualkan. Kepalanya terasa bagai berputar-putar dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hingga
setelah beberapa menit bertahan, ia pun tak sadarkan diri.
@ @
@
“Alhamdulillah... ibuuk! Mas Udin siuman buuk!”
“Allahuakbar, ternuwun ya Gustii”9
Pagi itu, Sianudin
baru saja tersadar dari pingsannya setelah kecelakaan beberapa hari lalu
terjadi padanya. Sebenarnya, itu bukanlah sebuah kecelakaan. Udin, yang tengah
marah-marah di depan tv waktu itu
entah kenapa tiba-tiba pingsan, tak sadarkan diri selama berhari-hari. Tak ada
satu pun orang yang mengetahui
penyebabnya. Orang tuanya bahkan telah membawanya ke rumah sakit terdekat. Tapi
tetap saja Sianudin tidak terbangun dari pingsannya selama berhari-hari. Hingga
akhirnya keluarga Udin pun putus asa dan menyerahkan segalanya pada Allah.
Akan tetapi,
ketika itu, keajaiban pun datang. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba jari-jari
Udin bergerak dan mulai membuka matanya pelan-pelan saat Santi mencoba memeluk
kakaknya yang sudah tak sadarkan diri selama beberapa hari itu. Saat Udin mulai
menyadari keberadaannya, tangan Udin dijulurkannya ke arah jendela yang
langsung menghadap pohon mahoni di depan rumahnya. Mulutnya bergeming
mengucapkan sesuatu yang tidak jelas.
“Pohon... itu pohon...”
TAMAT
No comments:
Post a Comment